Jurnal IDN – Di dapur-dapur rumah tangga sederhana di seluruh Indonesia, bunyi klik pemantik di atas tabung hijau kecil itu mungkin terdengar biasa saja. Namun di balik nyala api biru dari Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram atau yang akrab disebut gas melon, tersimpan persoalan besar yang kini membebani keuangan negara, industri energi, hingga moral pelaku usahanya.
Gas melon, yang semula dirancang sebagai penyelamat masyarakat kecil saat pemerintah menghapus subsidi minyak tanah pada 2007, kini berubah menjadi jebakan fiskal raksasa. Nilai subsidinya melonjak tajam: dari sekitar Rp60 triliun di awal program menjadi lebih dari Rp100 triliun pada 2022, menurut data Kementerian Keuangan.
Namun ironi terbesar justru datang dari fakta bahwa lebih dari 77 persen kebutuhan LPG nasional harus diimpor. Ketergantungan ini menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh, memperlihatkan lemahnya kemandirian energi dalam negeri.
Mengapa Indonesia, negara kaya sumber energi, begitu bergantung pada gas impor? Jawabannya ada pada struktur industri yang timpang.
Produksi LPG nasional stagnan karena terbatasnya fasilitas fraksinasi, yaitu infrastruktur untuk memisahkan propana dan butana dari gas alam, dua komponen utama LPG.
“Pembangunan fasilitas fraksinasi mahal dan butuh waktu panjang. Sementara ekspor LNG (Liquified Natural Gas) memberi margin jauh lebih besar,” ujar salah satu pejabat di sektor energi yang enggan disebut namanya.
Kebijakan industri energi pun lebih berpihak pada ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan domestik. Akibatnya, sejak program konversi minyak tanah ke gas dijalankan hampir dua dekade lalu, konsumsi naik tiga kali lipat, sementara produksi jalan di tempat.
Kesenjangan harga antara LPG bersubsidi (3 kg) dan non-subsidi (12 kg) membuka ruang luas bagi kejahatan ekonomi baru: oplosan gas. Praktiknya sederhana, tapi dampaknya besar. Isi dari tabung 3 kg bersubsidi disedot dan dialihkan ke tabung 12 kg non-subsidi untuk dijual lebih mahal.
“Dalam semalam, pelaku bisa untung ratusan ribu rupiah per tabung. Mereka main di area abu-abu yang sulit dijangkau pengawasan,” kata seorang penyelidik di wilayah Jawa Barat seperti dilansir dari Tempo, guna menggambarkan praktik gelap ini.
Selain merugikan negara miliaran rupiah setiap tahun, praktik ini memperparah kelangkaan gas di tingkat masyarakat. Banyak warga mengeluh tabung melon sulit didapat, terutama saat harga minyak dunia naik atau menjelang hari besar.
Lebih jauh, laporan beberapa lembaga internasional menyoroti adanya potensi aliran dana gelap (illicit financial flow) dalam rantai perdagangan gas. Praktik trade misinvoicing atau pemalsuan faktur ekspor-impor menjadi celah bagi pelaku untuk memindahkan dana secara ilegal ke luar negeri.
“Perbedaan harga antara data ekspor mitra dagang dan data impor Indonesia menunjukkan indikasi penyimpangan signifikan,” ungkap analis energi independen, Rini Arifin, yang meneliti ketimpangan neraca gas nasional.
Pemerintah sadar, subsidi LPG 3 kg adalah bom waktu fiskal. Beragam solusi kini tengah diuji coba.
Salah satunya adalah gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) sebagai pengganti LPG. Proyek di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, diharapkan bisa mengurangi impor LPG hingga 1 juta ton per tahun.
Selain itu, pembangunan jaringan gas kota (jargas) juga digalakkan sebagai alternatif distribusi energi langsung ke rumah tangga tanpa tabung. Hingga 2024, sudah lebih dari 800 ribu sambungan rumah tangga tersambung jargas, tapi angka ini masih jauh dari target 4 juta rumah tangga.
Reformasi subsidi agar lebih tepat sasaran berbasis data digital menjadi pilar penting lainnya. Pemerintah kini mewajibkan pembelian LPG 3 kg melalui sistem by name by address berbasis NIK, agar subsidi hanya dinikmati mereka yang benar-benar berhak.
Namun tantangan terbesar tetaplah pada politik energi: berani atau tidak pemerintah menata ulang subsidi energi yang tidak efisien. Selama harga energi masih dijadikan instrumen politik populis, gas melon akan terus menjadi beban yang mahal bagi APBN dan sumber distorsi ekonomi nasional.
“Gas melon seharusnya jadi solusi energi rakyat. Tapi kini, ia telah menjadi simbol ketergantungan dan kebocoran,” kata seorang ekonom energi dari Universitas Indonesia.
Di balik setiap nyala api di dapur rakyat kecil, negara menanggung ongkos besar. Bukan hanya dari rupiah yang terbakar, tapi juga dari sistem yang belum berani berubah. (DN)