Di Depan DPRD Jabar, Gubernur Dedi: “Saya Bisa Jadi Ketua RW!’

Jurnal IDN — Suasana ruang sidang DPRD Jawa Barat (Jabar) yang biasanya kaku, mendadak cair namun menggigit kala Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membuka pidatonya, Kamis (22/5) dengan senyum lebar dan kalimat satire.

“Saya tahu kontrak media Pak Ono sudah banyak,” ucapnya, disambut riuh tawa para anggota dewan.

Tawa itu hanya pembuka. Tak lama kemudian, gaya santai ala Dedi berubah menjadi pidato penuh semangat dan kritik tajam, yang mengupas berbagai persoalan mendasar yang membelit Jawa Barat, dari kemiskinan, pendidikan, lingkungan, hingga tata kelola investasi.

Di hadapan forum resmi tersebut, Dedi menyampaikan apresiasinya kepada Kejaksaan Agung yang telah mengusut dugaan penyimpangan kredit tanpa agunan senilai Rp600 miliar oleh mantan pejabat Bank BJB. Ia menyatakan bahwa koreksi telah dilakukan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BJB, dan menjamin kasus tersebut tidak akan mengguncang stabilitas keuangan daerah.

Namun, Dedi tak berhenti di urusan perbankan. Ia meluncurkan kritik sistematis terhadap berbagai sisi kebijakan dan pelaksanaan pembangunan di tanah Pasundan.

Kemiskinan, menurut Dedi, tak sekadar soal pendapatan rendah, melainkan juga akibat biaya hidup yang kian melonjak, terutama dalam sektor pendidikan.

“Sekolah memang gratis, tapi baju seragam, ongkos jajan, sampai makan siang tetap jadi beban. Ini bukan gratis, ini namanya oper-oper biaya,” katanya, dengan nada getir.

Ia menuturkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin di pelosok Jawa Barat kerap memilih putus sekolah karena tak sanggup menanggung biaya tersembunyi. Sebuah ironi dalam provinsi yang digadang-gadang sebagai motor ekonomi nasional.

Dedi juga menyentil persoalan alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan yang, menurutnya, menjadi penyebab utama bencana alam dan menurunnya kualitas sumber daya alam di Jawa Barat.

Di sisi lain, sistem perizinan investasi yang lemah ikut memperparah keadaan. Ia mencontohkan kasus pabrik sepatu di Indramayu yang tertunda operasional karena kendala administratif. Hal serupa juga terjadi pada investasi besar seperti BYD, yang kesulitan ekspansi karena harga tanah melonjak drastis akibat spekulasi warga.

“Kalau warga jual tanah Rp100 ribu per meter, begitu tahu ada pabrik, harganya bisa Rp3 juta. Ini bukan industrialisasi, ini lelucon,” tegasnya.

Salah satu momen paling emosional dalam pidato berdurasi hampir dua jam itu adalah saat Dedi menceritakan anak-anak dari keluarga miskin yang kini ia rawat di rumah dinas gubernur. Anak-anak ini, katanya, tak dijemput lagi oleh orang tuanya karena keterbatasan ekonomi.

Ia juga menyentil kritik terhadap aksinya yang kerap viral, seperti operasi tambang liar, dan menegaskan bahwa itu bukan pencitraan.

“Kalau saya rapat duluan, besoknya tambang udah kosong,” katanya, menekankan efektivitas pendekatan langsung.

Di ujung pidatonya, Dedi menyerukan perubahan pola pikir para pemimpin daerah. Menurutnya, pembangunan tak bisa hanya dijalankan dari balik meja dan rapat-rapat seremonial. Ia mengajak pejabat daerah untuk bertindak seperti ketua RT atau kepala desa yang benar-benar tahu kondisi warganya.

“Saya tidak hanya gubernur. Saya bisa jadi ketua RW kalau itu membuat rakyat lebih dekat dan didengar,” tuturnya dengan nada menggetarkan, disambut tepuk tangan panjang dari ruang sidang.

Pidato Dedi hari itu bukan sekadar laporan tahunan. Ia menjadikannya panggung peringatan keras bahwa menjadi pemimpin berarti hadir, mendengar, dan menyentuh. Seperti yang ia ucapkan di akhir pidatonya:

“Rakyat tidak butuh pejabat tinggi, mereka butuh pemimpin yang rendah hati,” ucapnya. (DN)

Share the Post:

Related Posts