Jurnal IDN — Seorang pasien Rumah Sakit Siloam Semanggi Jakarta, Gladys Enjelika Mokodompis, resmi menggugat pihak rumah sakit ke Pengadilan Negeri Tangerang atas dugaan malpraktik.
Gladys mengklaim bahwa setelah menjalani operasi ambeien pada 4 Februari lalu, dua potong logam—diduga patahan jarum operasi—tertinggal di dalam tubuhnya dan menimbulkan risiko kesehatan.
Dalam keterangan persnya, Gladys menceritakan bahwa ia dan keluarga baru mengetahui keberadaan benda asing tersebut beberapa hari pasca-operasi, ketika ia mengalami keluhan tidak nyaman di area dekat dinding vagina. Untuk memastikan, Gladys menjalani pemeriksaan CT scan berulang yang kemudian mengonfirmasi keberadaan dua objek menyerupai jarum di lokasi operasi.
Sebelum prosedur ambeien, dokter yang menangani—dengan inisial MS—merekomendasikan penggunaan stapler bedah ketimbang laser. Karena kesiapan alat dan tim medis, penjadwalan operasi harus dilakukan sebulan setelah konsultasi awal. Namun, saat pihak keluarga mendesak penjelasan soal logam yang tertinggal, pihak rumah sakit baru menawarkan penarikan “alat” tersebut satu bulan kemudian.
“Kami keberatan dengan penundaan itu. Risiko medis tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda penanganan,” ujar Gladys, yang mengaku awalnya enggan membawa masalah ini ke ranah hukum. Namun setelah merasa ditekan untuk menandatangani dokumen penyelesaian internal dan menerima tawaran kompensasi Rp 200 juta via WhatsApp, ia memutuskan menempuh jalur litigasi.
Pengacara Gladys, Sadrakh Seskoadi, menegaskan, “Ini jelas bukan komplikasi medis, melainkan kelalaian profesional. Klien kami sempat diintimidasi agar tidak melaporkan kasus ini.” Surat gugatan terdaftar dengan nomor perkara 341/Pdt.G/2025/PN Tng, dan sidang perdana telah digelar pada Kamis, 24 April 2025.
Hingga berita ini diturunkan, manajemen Siloam Semanggi belum memberikan pernyataan resmi terkait proses hukum yang sedang berjalan. Siloam Group sebelumnya hanya mengonfirmasi adanya komunikasi dengan keluarga pasien, namun menyebut insiden tersebut berada dalam “batas risiko prosedur medis”.
Kasus ini menjadi sorotan publik di tengah meningkatnya kekhawatiran pasien terhadap standar keselamatan dan akuntabilitas di fasilitas kesehatan swasta. Para ahli hukum kesehatan memandang gugatan ini akan menjadi preseden penting bagi penegakan hak pasien di Indonesia.