Jurnal IDN – Mantan penyanyi cilik, Leony Vitria Hartanti, tengah menjadi sorotan publik setelah mengkritik Laporan Keuangan Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Tahun 2024.
Eks personel Trio Kwek-Kwek itu mengunggah sejumlah catatan kritis di Instagram Story, menyoroti alokasi anggaran yang dianggapnya janggal dan tidak berpihak pada masyarakat.
Dokumen laporan setebal 520 halaman itu dipelajari Leony, lalu ia menyoroti lima pos anggaran yang dinilai tidak masuk akal. Kritiknya segera menuai perhatian warganet dan memicu diskusi soal prioritas penggunaan dana publik.

1. Suvenir Rp 20 Miliar
Leony menyoroti anggaran pengadaan suvenir yang mencapai Rp 20,48 miliar, naik 51,94 persen dari tahun sebelumnya. Menurutnya, jumlah tersebut terlalu besar jika dibandingkan dengan kebutuhan dasar masyarakat.
“Souvenir Rp 20 M. Sampai penambah daya tahan tubuh dan pakaian pun kita belanjain mereka,” tulis Leony, menyindir ironi penggunaan anggaran.
2. Konsumsi Rapat Rp 60 Miliar
Biaya konsumsi rapat Pemkot Tangsel pada 2024 tercatat sebesar Rp 60 miliar. Leony membandingkannya dengan kebutuhan masyarakat seperti perbaikan fasilitas umum.
“Makanan dan minuman rapat Rp 60 M. Bayangin aja, buat rapat doang bisa segitu nilainya,” ungkapnya.
Unggahan ini langsung menuai kritik dari publik yang mempertanyakan besarnya pengeluaran untuk kebutuhan internal birokrasi.
3. Perjalanan Dinas vs Pemeliharaan Jalan
Ketimpangan juga terlihat pada anggaran perjalanan dinas Rp 117 miliar, sementara pemeliharaan jalan dan irigasi hanya Rp 731 juta.
Leony menilai alokasi itu tidak logis. “Mungkin di Tangsel enggak banyak jalan rusak, jadi segitu aja sudah cukup biayanya selama setahun,” tulisnya dengan nada sarkas.
4. Bantuan Sosial Minim, Setara Mi Instan
Anggaran bantuan sosial hanya Rp 136 juta untuk 43.330 penduduk miskin di Tangsel. Jika dibagi rata, setiap orang hanya mendapat Rp 3.148 per tahun.
“Berarti per orang cuma dapat 1 bungkus mi instan dalam setahun,” kata Leony. Kritik ini viral karena dianggap mencerminkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kelompok rentan.
5. Anggaran Pendidikan dan Guru Honorer
Leony juga menyoroti sektor pendidikan. Dari Rp 860 miliar anggaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sekitar Rp 479 miliar dialokasikan untuk belanja pegawai. Namun, guru honorer disebut hanya menerima honor Rp 500 ribu setiap tiga bulan.
Ia juga mengkritisi penggunaan mandatory spending di bidang pendidikan untuk perjalanan dinas, konsumsi rapat, hingga honor narasumber dengan nilai yang mencapai miliaran rupiah.
“Anggaran belanja jasa itu enggak nyampe tepat sasaran!!” tegasnya.
Sorotan Leony terhadap lima pos anggaran ini mendapat dukungan warganet. Banyak yang menilai kritik tersebut mewakili keresahan masyarakat terhadap transparansi dan prioritas belanja daerah.