MK Putuskan Pendidikan Dasar Sekolah Swasta Gratis, Siapa yang Bayar Tagihannya?

Jurnal IDN – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pemerintah menjamin pendidikan dasar gratis di sekolah negeri maupun swasta memunculkan tantangan besar bagi keberlanjutan fiskal Indonesia dan imbasnya bagi sasaran dari program ini.

Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai langkah ini penuh semangat luhur konstitusi, namun menyimpan potensi risiko besar jika tidak dibarengi mekanisme pelaksanaan yang matang.

“Bayangkan negara menjanjikan makan gratis di seluruh rumah makan, tapi tak menyiapkan siapa yang akan membayar tagihannya,” ujar Achmad di Jakarta, Jumat (30/5)

Ia menggambarkan dilema fiskal yang muncul dari putusan MK tersebut. Menurutnya, meski secara moral sulit dibantah, setiap jaminan hak warga negara menuntut alokasi sumber daya, yang pada akhirnya berarti uang rakyat.

Data per April 2025 menunjukkan pendapatan negara baru mencapai Rp810,5 triliun atau sekitar 27 persen dari target tahunan. Sementara itu, belanja negara telah mencapai Rp620,3 triliun, menciptakan defisit lebih dari Rp100 triliun hanya dalam empat bulan. Meski anggaran pendidikan menyentuh Rp724,3 triliun (sekitar 20 persen dari APBN), realisasi belanja hingga Februari baru Rp76,4 triliun, jauh dari kebutuhan untuk mewujudkan visi pendidikan gratis yang diperluas ke sekolah swasta.

Achmad mencatat, implementasi putusan MK setidaknya membutuhkan tambahan Rp1,3 triliun hanya untuk membiayai pendidikan siswa SD dan SMP di sekolah swasta. Angka ini belum termasuk biaya operasional, peningkatan kualitas guru, insentif tenaga pendidik, serta perbaikan infrastruktur.

Selain sektor pendidikan, pemerintah saat ini tengah menggelontorkan dana besar untuk berbagai program prioritas lain, seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp171 triliun, pemeriksaan kesehatan gratis Rp3,4 triliun, dan enam paket stimulus ekonomi yang mencakup diskon listrik, subsidi upah, serta bantuan sosial, dengan total ratusan triliun rupiah.

“Negara, seperti rumah tangga, harus memutuskan prioritas. Apakah untuk cicilan rumah, biaya makan, atau pendidikan anak?” kata Achmad.

Ia pun mengingatkan, visi kebijakan tidak cukup didorong semangat mulia saja, tetapi harus realistis dengan keterbatasan nyata.

Menggunakan analogi anggaran negara sebagai ember yang menampung air, Achmad menyebut janji-janji kebijakan sebagai hujan deras.

“Kalau ember berlubang akibat kebocoran fiskal seperti pemborosan dan korupsi, airnya tak akan tertampung meski hujan deras. Program makan gratis, pendidikan gratis, dan stimulus ekonomi bisa terbuang percuma kalau tidak ada perbaikan mendasar,” tegasnya.

Achmad menegaskan bahwa semangat keadilan sosial harus selalu berjalan berdampingan dengan keberlanjutan fiskal.

“Kalau tidak, kita akan terjebak populisme fiskal: menjanjikan segalanya kepada semua orang, tapi akhirnya tak mampu memberi apa pun secara memadai,” ujarnya.

Ia mengusulkan beberapa strategi alternatif, seperti skema pendanaan berbasis kemitraan publik-swasta, insentif pajak untuk perusahaan yang mendukung pendidikan di daerah tertinggal (3T), pemanfaatan dana CSR secara lebih strategis, atau penerapan subsidi berbasis kebutuhan alih-alih pembebasan biaya seragam.

Menurut Achmad, putusan MK ini harus menjadi momentum untuk menghidupkan demokrasi anggaran. Rakyat perlu mengetahui bagaimana APBN disusun, ke mana uang mereka mengalir, dan bagaimana pemerintah membuat keputusan fiskal.

“Ketika pengeluaran terus bertambah, transparansi dan partisipasi publik adalah benteng terakhir akuntabilitas,” katanya.

Ia juga mengingatkan agar subsidi pendidikan gratis tak jatuh menjadi keuntungan bagi kelompok kaya yang menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah swasta elit.

“Pendidikan gratis harus menjadi instrumen untuk mendorong anak-anak keluarga miskin keluar dari lingkaran kemiskinan, bukan memperkaya yang sudah kaya,” tambahnya.

Achmad menekankan, bila pemerintah serius menjalankan amanat putusan MK, keberanian untuk mengoreksi kebijakan lain yang boros dan minim dampak ekonomi mutlak diperlukan. Alokasi anggaran untuk program seperti MBG, pemeriksaan kesehatan massal tanpa prioritas, dan pembangunan tiga juta rumah yang tidak memberikan efek pengganda signifikan harus dikaji ulang.

“Pendidikan dasar gratis untuk semua anak bangsa, termasuk di sekolah swasta, tidak boleh dikorbankan demi proyek-proyek populis yang boros. Ini saatnya menyusun ulang prioritas fiskal secara rasional dan berbasis keadilan sosial,” pungkas Achmad.

Dengan demikian, langkah pemerintah ke depan akan sangat menentukan apakah janji pendidikan gratis ini menjadi tonggak kemajuan atau justru menciptakan beban fiskal yang memiskinkan generasi mendatang. (DN)

Share the Post:

Related Posts