JURNAL IDN – Perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) belakangan ini marak terjadi di Indonesia. Fenomena ini diketahui menyebar di sejumlah daerah dan jumlahnya terus meningkat.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, pada 2016 ada 17.000 anak LGBT yang tersebar di wilayah di Jawa Barat. Angka tersebut termasuk 151 anak yang menjadi korban prostitusi gay.
Dan belum lama ini, MUI Kota Bekasi mengungkapkan temuan awal yang menunjukkan lonjakan kasus LGBT hingga ribuan persen dalam kurun waktu satu tahun.
Data sementara yang berhasil dihimpun dari beberapa instansi menunjukkan peningkatan drastis dari tahun ke tahun.
Pada 2023, jumlah LGBT di Kota Bekasi ada 554 orang. Namun pada 2024, jumlahnya melonjak jadi 5.600 orang atau 1.000 persen.
Hal ini lantas diyakini berkaitan dengan meningkatnya angka kasus HIV/AIDS di kota tersebut. Data resmi dari instansi terkait menyebut, ada 3.600 orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kota Bekasi.
Angka ini lantas menjadikan Kota Bekasi sebagai wilayah dengan kasus HIV/AIDS kedua terbanyak di Jawa Barat, setelah Bandung. Hal ini disampaikan oleh Mosal Tomosouw, Ketua GMPGB (Gerakan Moral Penyelamat Generasi Bangsa) dalam keterangan resminya, baru-baru ini.
Mosal Tomosouw menyatakan, realita ini tentu mengkhawatirkan kita semua. Maraknya LGBT berpotensi merusak tatanan nilai-nilai luhur agama dan budaya yang telah mengakar kuat dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Inti dari kekhawatiran ini bukanlah pada penolakan terhadap individu, melainkan pada penolakan terhadap promosi dan normalisasi perilaku yang bertentangan dengan fitrah manusia dan norma agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia.
Penyebaran massif perilaku LGBT mengancam institusi paling fundamental dalam masyarakat, yakni keluarga. Keluarga yang harmonis dan sesuai kodrat adalah pilar utama pembentukan karakter generasi penerus bangsa.
Dan sewajarnya, sebuah keluarga terdiri dari ayah dan ibu yang berbeda gender, lalu melahirkan anak-anak melalui proses yang alamiah.
“Kami juga memandang, berkembangnya LGBT di Indonesia tidak hanya sekadar fenomena belaka,” ujar Mosal Tomosouw.
Masih menurut Mosal, hal ini diduga berkaitan dengan agenda para globalis untuk memunculkan gender ketiga dengan dalih kebebasan berekspresi, demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Alih-alih sejalan dengan demokrasi dan HAM, LGBT justru bertentangan dengan hukum di Indonesia, di antaranya:
- Pasal 292 KUHP (tentang Perbuatan Cabul dengan Sesama Jenis terhadap Anak Belum Dewasa):
Pasal ini mengkriminalisasi perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa dengan orang yang berjenis kelamin sama yang belum cukup umur.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019).
Undang-undang ini secara eksplisit mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri (Pasal 1). Ketentuan ini menjadi dasar hukum utama yang tidak mengakui perkawinan sesama jenis di Indonesia.
“Atas dasar itulah, kami masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Moral Penyelamat Generasi Bangsa (GMPB) menyerukan pemerintah dan pihak-pihak terkait melakukan Mitigasi terhadap penyebaran perilaku LGBT harus dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif,” tegas Mosal Tomosouw.
Jalur yang paling strategis dan efektif adalah melalui penguatan pendidikan moral dan agama di sekolah-sekolah. Sekolah adalah benteng pertama dalam pembentukan karakter anak bangsa.
Pendidikan moral dan agama harus kembali menjadi mata pelajaran inti yang diajarkan secara mendalam, bukan hanya sebagai formalitas. Kurikulum harus secara eksplisit menanamkan:
- Pemahaman yang benar tentang kodrat manusia dan fungsi-fungsi reproduksi dalam konteks nilai-nilai agama.
- Nilai-nilai luhur keluarga sebagai unit terkecil yang sah dalam masyarakat, yang terdiri dari ayah dan ibu.
- Ketahanan diri terhadap pengaruh dan promosi gaya hidup menyimpang yang beredar di luar lingkungan sekolah.
Kami juga mendesak Pemerintah untuk menindak media, baik media massa atau media sosial, yang mempromosikan LGBT.
“Kami meyakini, salah satu saluran utama penyebaran dan normalisasi perilaku LGBT saat ini adalah media sosial dan platform digital,” ungkap Mosal Tomosouw.
Konten-konten yang mempromosikan atau menganggap enteng gaya hidup LGBT dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak dan remaja, berpotensi merusak pola pikir mereka tanpa pengawasan.
Oleh karena itu, tambahnya, GMPB menyerukan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan lembaga terkait lainnya, untuk mengambil tindakan tegas dan tanpa kompromi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
- Men-takedown (menurunkan) atau memblokir secara permanen semua akun, laman, dan konten di media sosial atau platform digital lain yang secara terang-terangan mempromosikan, mengampanyekan, dan menormalisasi perilaku LGBT.
- Memperkuat regulasi siber yang secara khusus mengatur larangan promosi perilaku menyimpang yang bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan di Indonesia, dengan sanksi yang jelas dan mengikat.
- Bekerja sama dengan penyedia platform (Google, Meta, TikTok, dll.) untuk memastikan konten-konten berbahaya tersebut tidak lolos dari filterisasi sesuai kearifan lokal Indonesia.
- Kami juga meminta para LGBT yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan, badan-badan negara maupun posisi strategis lainnya untuk mengundurkan diri sebagai wujud dari konsistensi kita mewujudkan penegakkan hukum dan tindakan non-kompromis
“Pernyataan sikap ini adalah wujud nyata dari tanggung jawab moral kita bersama untuk melindungi generasi muda dari ancaman disintegrasi sosial dan moral,” sebut Mosal.
Tindakan mitigasi yang cepat, tepat, dan terpadu, terutama melalui penguatan pendidikan moral di sekolah dan pembersihan ruang digital dari konten promosi LGBT adalah investasi krusial demi tegaknya masa depan bangsa yang bermartabat, berakhlak mulia, dan berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. ***