Jurnal IDN – Meningkatnya kasus korupsi dan merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga negara di Asia Tenggara kembali menjadi sorotan serius.
Dalam sebuah forum lintas agama virtual akhir pekan lalu, para pemuka agama, pendidik, pemuda, serta pegiat perdamaian dari Indonesia dan Filipina menyerukan perlunya membangun kembali praktik kepemimpinan etis yang bersumber dari nilai-nilai kitab suci.
Forum yang digelar Heavenly Culture, World Peace, Restoration of Light (HWPL) Filipina bersama International Peace Youth Group (IPYG) Indonesia itu menjadi ruang dialog terbuka untuk mengevaluasi kondisi moral pemimpin dan masyarakat.
Imam Katolik sekaligus anggota Jesuits Among Muslims in Asia (JAMIA), Dr. Renato Taib Oliveros, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kesenjangan antara nilai moral anti-korupsi dalam ajaran kitab suci dan perilaku masyarakat masa kini.
“Nilai moral dari kitab suci bersifat abadi, namun praktik korupsi yang meluas menunjukkan adanya jarak besar antara ajaran dan tindakan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa reformasi kepemimpinan tidak hanya soal regulasi, tetapi tentang transformasi batin.
Dr. Oliveros juga menyoroti krisis identitas generasi muda yang menurutnya terlalu fokus pada tampilan luar sehingga mengabaikan martabat batin dan kedalaman spiritual.
Dari Indonesia, Prof Dr H Muhammad Galib M MA, Guru Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Alauddin Makassar, mengingatkan bahwa kepemimpinan etis hanya dapat tumbuh di lingkungan yang menjunjung nilai kasih, persatuan, dan saling mendukung.
“Keberagaman harus disikapi dengan kasih sayang agar tidak melahirkan konflik, permusuhan, atau kekerasan,” ungkapnya.
Mengutip Surah Al-Maidah (5:2), ia mengajak seluruh masyarakat menumbuhkan budaya tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, bukan dalam permusuhan.
Pendeta Hindu dari International Krishna Consciousness (ISKCON), Kavi Karnapura Das, menegaskan bahwa kepemimpinan etis tidak mungkin terwujud tanpa keteladanan.
“Seorang pemimpin korup tidak bisa meminta masyarakat untuk tidak melakukan korupsi. Kepemimpinan dimulai dari contoh nyata,” ujarnya mengutip Bhagavad Gita 3.21.
Ia menekankan pentingnya pendidikan karakter, disiplin, dan kepemimpinan melayani dalam sistem pendidikan agar generasi penerus tumbuh dengan integritas yang kuat.
Para pemimpin muda dari kedua negara menyampaikan refleksi mereka mengenai pentingnya dialog lintas agama di tengah tantangan regional.
Ketua GP PARMUSI, Kifah Gibraltar Bey, mengapresiasi forum ini dan menilai dialog rutin dapat memperkuat solidaritas Asia Tenggara serta mengurangi potensi konflik.
Sementara Jhune Arcy dari Ilaya National High School, Filipina, menyampaikan bahwa masyarakat yang dipandu oleh nilai keimanan dapat bertahan dan bangkit dari berbagai krisis.
Di akhir kegiatan, HWPL Filipina dan IPYG Indonesia kembali menegaskan komitmen mereka untuk menyediakan ruang pembelajaran lintas agama secara konsisten.
Para pemuda juga didorong mengikuti program Religious Peace Academy (RPA) sebagai wadah pendalaman etika dan kajian kitab suci lintas agama.
Program ini diharapkan menjadi katalis lahirnya generasi muda yang mampu memimpin dengan hati, mengutamakan keadilan, dan menjaga integritas di tengah tantangan zaman. (DN)