JURNAL IDN – Seruan untuk kembali ke Demokrasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terus menggema. Sejumlah aktivis 98 kembali menegaskan pentingnya kembali menerapkan Demokrasi Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan politik dan bernegara di Indonesia.
Seruan ini muncul dalam forum diskusi bertajuk “Demokrasi Pancasila Sebagai Panggilan Kesejarahan Aktivis ’98” yang digelar di Jakarta Pusat, Selasa (28/10/2025).
Acara ini menjadi ruang refleksi dan kritik terhadap kondisi demokrasi Indonesia yang dinilai telah bergeser dari nilai-nilai Pancasila menuju praktik liberal dan oligarkis.
Dalam acara tersebut, hadir sejumlah aktivis 98. yakni Ketua Forum Bersama Bhinneka Tunggal Ika Taufan Hunneman, Ketua Gerakan Nasional 98 Anton Aritonang, Ketua Solidaritas Buruh Nasional Mudhofir Kamid, Alumni KM Jayabaya Yoega Diliyanto dan Ketua Umum Gema Puan, Ridwan.
Kritik terhadap Demokrasi Liberal
Ketua Forum Bersama Bhinneka Tunggal Ika, Taufan Hunneman menilai arah demokrasi Indonesia saat ini mulai menyimpang dari cita-cita reformasi dan semangat gotong royong bangsa.
“Demokrasi yang kita jalankan semakin liberal dan berbiaya tinggi. Sistem ini hanya menguntungkan kelompok berduit dan mengikis nilai musyawarah,” ujar Taufan Hunneman.
Lebih lanjut, Taufan mengatakan, praktik politik yang berorientasi pada kekuatan modal telah menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan.
Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk membentuk Komite atau Komisi Konstitusi guna mengkaji ulang arah sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 naskah asli.
Taufan juga menyoroti keresahan generasi muda, khususnya Gen-Z, yang merasa terputus dari dunia politik.
Ia membandingkan sistem sosial-demokrasi di Eropa Utara dengan kondisi Indonesia yang belum sepenuhnya mewakili seluruh lapisan masyarakat.
“Gen-Z ingin bersuara, tapi bingung ke mana harus menyampaikan aspirasi,” kata Taufan.
Berkaca pada pemikiran tokoh bangsa
Dalam kesempatan yang sama, Yoega Diliyanto, aktivis KM Jayabaya, mengajak publik untuk merefleksikan kembali pemikiran tokoh bangsa seperti Moh. Yamin.
Ia menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus memiliki prasyarat: konstitusi yang hidup dan politik yang bebas dari jual beli suara.
“Moh. Yamin sudah mengkhawatirkan situasi ini sejak 1928. Kini, DPR lebih diisi oleh mereka yang membeli suara, bukan yang bertarung dengan ide,” tegas Yoega.
Senada dengan Taufan dan Yoega, Ridwan dari Gerakan Muda Pejuang Nusantara menyoroti pentingnya mengembalikan Pancasila ke marwah aslinya.
Ia menilai bahwa oligarki tumbuh subur karena para tokoh politik lebih mencintai uang daripada bangsa.
“Kalau para ketua partai tidak peduli pada demokrasi Pancasila, maka DPR dan MPR tak akan bisa mewakili rakyat,” katanya.
Suara kalangan buruh
Dari perspektif gerakan buruh, Mudofir Kamid dari Solidaritas Buruh Nasional menyampaikan bahwa suara buruh harus menjadi bagian dari advokasi politik.
Ia mengungkapkan bahwa banyak aktivis buruh kesulitan maju ke legislatif karena kendala biaya.
“Kita perlu strategi agar buruh bisa memperkuat posisi di lapangan dan parlemen,” ujarnya.
Tiga Tuntutan Aktivis 98
Dalam forum tersebut, para aktivis menyatakan tiga tuntutan terkait seruan kembali ke Demokrasi Pancasila dan UUD 1945.
Hal itu terungkap dalam dalam pernyataan sikap yang dibacakan oleh Ridwan.
Pertama, mengembalikan Pancasila sebagai ruh dan watak utama demokrasi Indonesia, bukan sekadar simbol politik.
Kedua, mendesak pembentukan Komisi Konstitusi yang melibatkan pakar hukum tata negara, akademisi, perwakilan masyarakat adat, hingga tokoh daerah untuk mengevaluasi sistem politik liberal yang dinilai rawan korupsi sistematis.
Sementara tuntutan ketiga, para aktivis meminta agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara guna memastikan arah pembangunan nasional tetap berlandaskan konstitusi dan kepentingan rakyat.
“Gerakan ini bukan agenda politik praktis, melainkan panggilan moral untuk mengembalikan demokrasi Indonesia sesuai jati diri bangsa,” tegas Ridwan.
Tolak politik transaksional
Ketua Umum Gerakan Nasional ’98, Anton Aritonang menyoroti sejarah Sumpah Pemuda sebagai hasil permusyawaratan antar golongan.
Ia menegaskan bahwa demokrasi Indonesia seharusnya berakar pada musyawarah mufakat, bukan pada transaksi politik.
“Hari ini, demokrasi kita bisa diperjualbelikan. Jika tak punya modal ekonomi, maka suara Anda tak berarti di mata sejarah,” tandas Anton yang juga bertindak sebagai moderator dalam acara tersebut.
Para aktivis 98 tersebut juga menegaskan komitmen untuk terus mengawal pembentukan Komite Konstitusi serta memperjuangkan kembalinya Demokrasi Pancasila sejati sebagai arah baru reformasi Indonesia. ***