JURNALIDN.COM,- Ajang silaturahmi yang sedianya menjadi wadah bagi bakat sepakbola karyawan dari berbagai instansi di seluruh Indonesia, Liga Sepakbola Karyawan (Gala Karya) 2025, kini justru diwarnai kontroversi dan kekecewaan mendalam. Kompetisi yang diselenggarakan oleh Yayasan Gala Karya Indonesia di Stadion Soemantri Brodjonegoro, Jakarta, sejak 5 hingga 12 Oktober 2025 itu, menuai kritik tajam dari tim peserta atas keputusan panitia yang dinilai tidak profesional dan inkonsisten.
Kritik keras ini disuarakan oleh sejumlah tim peserta tingkat nasional, termasuk Bank Kalbar, Beakuda Sambas, Manokwari Selatan, dan RPL Banten. Mereka menuding panitia penyelenggara gagal total dalam menegakkan aturan yang telah disepakati bersama sejak awal, bahkan disebut mengambil keputusan yang secara terang-terangan bertentangan dengan hasil technical meeting (TM) yang telah dilakukan.
Salah satu pelatih tim peserta menyampaikan kekecewaannya, menekankan pentingnya profesionalisme dalam ajang sekelas nasional. “Ini turnamen tingkat nasional yang harusnya menjunjung tinggi semangat fair play dan profesionalisme. Tapi kenyataannya, panitia tidak konsisten dan bahkan melanggar peraturan yang mereka buat sendiri,” ujarnya dengan nada kecewa, menyoroti runtuhnya kredibilitas turnamen ini.
Kontroversi utama yang memicu protes para peserta adalah perubahan sistem pertandingan yang dilakukan secara mendadak setelah fase penyisihan grup selesai. Dalam technical meeting yang digelar pada 4 Oktober 2025, panitia telah menetapkan sistem setengah kompetisi, di mana hanya tim yang berhasil keluar sebagai juara grup yang berhak otomatis melaju ke babak semifinal. Aturan ini telah menjadi dasar bagi setiap tim untuk merancang strategi dan alokasi energi mereka.
Namun, keputusan yang telah disepakati tersebut tiba-tiba diubah secara sepihak oleh panitia, dipimpin oleh Ketua Penyelenggara M. Jaelani Saputra dan Sekjen Ivan. Alih-alih melanjutkan ke semifinal sesuai aturan TM, panitia memutuskan untuk menambah babak perdelapan final. Alasan yang dikemukakan adalah adanya desakan dari tim-tim runner-up grup yang merasa perlu diberikan kesempatan untuk terus bertanding.
Keputusan yang disetujui tanpa konsultasi ulang ini dinilai oleh para peserta sebagai langkah yang tidak profesional dan menunjukkan ketidakmampuan panitia menjaga konsistensi. Seorang manajer tim dengan tegas menyatakan kekecewaannya, “Peraturan sudah jelas ditetapkan. Tapi tiba-tiba, hanya karena ada tekanan dari tim tertentu, panitia langsung mengubah format kompetisi. Ini tidak adil dan merusak kredibilitas turnamen,” memperlihatkan betapa buruknya tata kelola kompetisi tersebut.

Dampak dari perubahan sistem kompetisi yang mendadak ini tidak hanya terbatas pada masalah fair play, tetapi juga menimbulkan kerugian finansial dan moral yang besar bagi para peserta, terutama tim-tim yang datang dari luar Pulau Jawa. Sejumlah tim dari luar daerah, seperti dari Kalimantan, telah datang dengan rombongan besar, mencapai hingga 21 orang termasuk pemain dan ofisial, dan menanggung biaya akomodasi serta transportasi sendiri yang sangat besar.
Perubahan aturan di tengah jalan ini menimbulkan kecurigaan serius di kalangan pelatih dan manajemen tim, yang mulai menduga adanya praktik yang tidak sehat di balik penyelenggaraan turnamen. Para juara grup merasa perjuangan mereka menjadi sia-sia karena status keunggulan mereka tiba-tiba dihilangkan hanya karena keputusan sepihak panitia. “Tim kami sudah berjuang keras dan keluar sebagai juara grup. Tapi tiba-tiba status itu diubah hanya karena keputusan sepihak panitia. Ini menimbulkan tanda tanya besar,” ujar salah satu pelatih dari tim asal Kalimantan.
Rasa frustrasi ini memuncak pada anggapan bahwa ajang bergengsi Gala Karya telah kehilangan wibawanya dan disamakan dengan kompetisi amatir. Seorang ofisial tim Bank Kalbar menyampaikan keluhannya, menekankan pengorbanan yang telah dilakukan timnya. “Kami datang jauh-jauh dengan semangat dan biaya besar. Tapi semua perjuangan itu seolah sia-sia karena keputusan panitia yang semena-mena. Liga ini seharusnya menjadi ajang profesional, bukan seperti turnamen tingkat kampung,” keluhnya, menunjukkan kekecewaan yang mendalam atas ketidakprofesionalan penyelenggara.
Menanggapi insiden yang menodai semangat kebersamaan dan sportivitas ini, sejumlah pelatih dan manajemen tim secara kolektif menuntut pihak berwenang, termasuk asosiasi sepakbola terkait, untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan Gala Karya 2025. Permintaan evaluasi ini didasarkan pada keinginan agar kasus ketidakprofesionalan dan inkonsistensi panitia tidak terulang di masa mendatang.
Gala Karya selama ini dikenal sebagai ajang prestisius bagi karyawan dari berbagai sektor di seluruh Indonesia, tempat mereka dapat menunjukkan kemampuan di bidang olahraga. Namun, insiden perubahan aturan secara sepihak ini telah merusak reputasi yang telah dibangun Yayasan Gala Karya Indonesia. Para peserta berharap bahwa penyelenggara ke depan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas, fair play, dan tata kelola yang transparan.
Tujuan utama dari tuntutan evaluasi ini adalah untuk mengembalikan kepercayaan publik dan peserta terhadap kualitas kompetisi. “Kami tidak ingin kejadian ini terulang. Evaluasi harus dilakukan secara terbuka agar Gala Karya bisa kembali dipercaya sebagai ajang nasional yang bermartabat,” pungkas salah satu pelatih, menggarisbawahi pentingnya perbaikan tata kelola agar turnamen ini dapat berfungsi kembali sebagai wadah yang profesional dan menjunjung tinggi fair play.(AS)