Jurnal IDN – Diklaim bukan sekadar film religi, ‘Air Mata Mualaf’ disebut sebagai sebuah ‘ledakan sunyi’ tentang luka yang tak terlihat, pertarungan dalam keluarga dan hidayah yang datang pada waktu paling tak terduga.
Tokoh Anggie yang diperankan Acha Septriasa bukan pahlawan, bukan korban. Ia hanyalah perempuan yang ingin selamat dari seseorang yang seharusnya mencintainya.
Kekerasan dalam hubungan yang dialaminya di Australia adalah luka yang tak digambarkan dengan eksploitasi, melainkan dengan keheningan.
Hingga suatu malam, ia jatuh di depan sebuah masjid. Tubuh lelah, hati retak, dan seluruh masa lalunya seperti menyeretnya ke tanah.
Di sinilah film dimulai, ketika seseorang mencapai titik terendah dan sesuatu yang asing justru memeluknya.
Diselamatkan seorang gadis pengurus masjid yang diperankan Syamim Freida, Anggie menemukan keteduhan yang tidak pernah ia rasakan. Lantunan ayat suci yang ia dengar bukan digambarkan sebagai keajaiban, melainkan sebagai sesuatu yang meresap pelan, seperti cahaya kecil di ujung lorong gelap.
Ketika ia memilih Islam, film tidak mengglorifikasi. Ia justru memperlihatkan apa yang tidak pernah dibicarakan orang, bahwa hidayah sering datang dengan harga yang sangat mahal. Harga itu bernama keluarga.
Konflik keluarga digambarkan dengan intens, namun tetap manusiawi. Tidak ada tokoh jahat. Tidak ada yang berniat menyakiti. Yang ada hanyalah ketakutan, ketakutan kehilangan anak, kehilangan tradisi, kehilangan kendali.
Film ini memperlihatkan bahwa pertarungan terbesar bukanlah antar keyakinan, melainkan antar hati yang saling mencintai namun tak saling memahami.
Di ruang keluarga yang retak itu, semua orang menangis, hanya saja tidak semua menangis dengan suara. Itulah kelebihan film ini, ia membuat penonton memahami bahwa kebenaran seringkali lebih rumit dari sekadar argumentasi.
Film ini menolak membuat karakter antagonis. Alasannya sederhana: Dalam kisah nyata, siapa yang benar dan siapa yang salah seringkali tidak pernah jelas.
Kolaborasi Indonesia–Malaysia–Australia di film ini memperlihatkan bahwa cerita ini melampaui batas budaya. Bahwa kisah seseorang yang mencari rumah baru untuk jiwanya adalah cerita yang bisa dirasakan siapa pun di dunia.
Air Mata Mualaf hadir bukan film untuk mencari kebenaran tapi film yang mengajak penonton berani menatap diri sendiri.
“Hidup tidak pernah memberikan satu jawaban. Hanya perjalanan… dan keberanian untuk memilih jalan kita sendiri,” ujar sang sutradara, Indra Gunawan.
Film ini akan tayang di bioskop tanah air pada 27 November 2025, kemudian menyusul di Asia Tenggara dan Timur Tengah awal Desember. (RNZ)
