Jurnal IDN – Sengketa aset Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) yang terus berkepanjangan suka tidak suka menimbulkan efek negatif, salah satunya kecemasan di kalangan mahasiswa Universitas Persada YAI terkait masa depan kampus dan perkuliahan.
Berbagai upaya mediasi telah dilakukan, termasuk intervensi dari Komisi III DPR, hingga kini belum ada titik terang penyelesaian.
Pihak Yayasan dan Universitas YAI sendiri belum memberikan tanggapan atau klarifikasi resmi atas kondisi ini, menambah kebingungan publik dan mahasiswa.
Upaya mencari tahu upaya penyelesaian kasus ini dari pihak yayasan pun masih menemui jalan buntu. Meminta konfirmasi dari pihak yayasan melalui Humas Universitas YAI pun belum membuahkan jawaban.
“Kita hanya fokus pada bidang pendidikan dan kemahasiswaan. Soal (sengketa) itu wewenangnya ketua yayasan,” ujar Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) UPI YAI, Dimas saat dikonfirmasi di Kampus UPI YAI Jakarta, Kamis (19/6) lalu.
Dirinya pun mempersilakan untuk langsung mengkonfirmasikan soal sengketa ini kepada ketua yayasan. Namun, saat dihubungi untuk memastikan waktu bertemu pihak yayasan, Dimas tak kunjung merespon.
Seperti diketahui, sengketa aset yang melibatkan Yayasan YAI mencuat sejak pertengahan 2024, bermula dari kredit macet terhadap Bank BNI yang terjadi pada 2014. Permasalahan diperparah oleh krisis keuangan internal yayasan pada 2016.
Sengketa ini makin pelik setelah pada Juni 2024, Yayasan YAI menandatangani kesepakatan pengalihan operasional dengan PT Dutamas Putra Utama (PT D). Namun, pada Juli 2024, Bank BNI mengajukan lelang eksekusi atas aset YAI. Dalam lelang yang digelar Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) pada Agustus 2024, pemenangnya justru PT Berkat Maratua Indah (PT B), bukan PT D yang sebelumnya menjadi mitra operasional.
Sejak itu, PT D menuntut pengembalian uang muka senilai Rp10 miliar kepada pengurus Yayasan YAI karena merasa dikhianati secara kontraktual. Sengketa internal ini pun makin memanas dan menjadi perhatian nasional.
Dampaknya, kampus YAI yang menaungi sekitar 5.000 mahasiswa kini terancam tergusur akibat proses lelang eksekusi hak tanggungan. Para mahasiswa mulai khawatir terhadap kelangsungan studi mereka.
“Saya berharap agar (sengketa aset) cepat diselesaikan,” ujar Akbar, mahasiswa Teknik Informatika Universitas YAI saat ditemui di kawasan kampus, Jakarta, Senin (22/6) lalu.
Ia menambahkan bahwa isu ini telah lama menjadi keresahan di lingkungan mahasiswa, namun belum ada penjelasan yang menenangkan dari pihak kampus.
Senada dengan Akbar, Michael, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas YAI, menilai bahwa meski Komisi III DPR sudah turun tangan, belum ada perkembangan berarti.
“Walau sudah sampai ke Komisi III DPR tapi belum ada tindak lanjutnya,” ucapnya.
Ia menegaskan pentingnya kehadiran negara dalam melindungi hak pendidikan mahasiswa.
“Biar segera diselesaikan lah masalahnya. Mahasiswa ingin kampus kembali seperti sedia kala,” tambahnya.
Ketua Yayasan YAI, Yudi Yulius sendiri sempat mengadukan sengketa ini ke Komisi III DPR pada 18 Februari 2025. Dalam rapat dengar pendapat, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyampaikan sikap tegas dengan meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menunda eksekusi pengosongan lahan kampus yang dijadwalkan pada 25 Februari 2025.
“Kita akan lanjutkan dengan mediasi. Kalau ada teman-teman yang ingin ikut berkomunikasi, silakan, nanti saya akan fasilitasi,” ujar Habiburokhman saat itu.
Komisi III juga meminta aparat kepolisian tidak ikut terlibat dalam proses eksekusi, demi menjamin kelangsungan pendidikan mahasiswa dan mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
Kisruh ini sendiri setidaknya memperlihatkan buruknya tata kelola kelembagaan pendidikan tinggi berbasis yayasan, serta lemahnya perlindungan hukum terhadap mahasiswa sebagai kelompok rentan dalam sengketa aset pendidikan.
Jika tidak segera diselesaikan, bukan hanya kampus yang terancam, tetapi juga masa depan ribuan generasi muda yang menggantungkan harapan pendidikan di Universitas YAI. (DN)